YANG MUDA YANG LAGI BERNAS
SBY bersama Sandiaga Salahuddin Uno
SANDIAGA Salahudin Uno harus datang ke Kota Palembang. Hanya masalahnya, siapa sanggup menahan orang super sibuk untuk meninggalkan kesibukan bisnisnya lalu mendatangi kegiatan bukan bisnis? Bukankah Silakwil II ICMI Orwil Sumsel bukan kegiatan bisnis yang bisa menghasilkan tambahan uang bagi Sandiaga S Uno?
Sekretaris Silakwil, Fauzi Umroh yakin. Dia bisa mendatangkannya. Sebab Sandiaga S Uno adalah juga bendahara ICMI Pusat. Begitu ucapan Fauzi dalam rapat-rapat persiapan Silakwil.
Entah bagaimana caranya dan kiatnya, apa yang dikatakannya itu dalam kenyataan benar-benar terjadi. Tampaknya ada sedikit tipuan dan tipuan yang tepat sasaran sehingga peringkat ke-37 orang terkaya di Indonesia menurut majalah Forbes itu mau tidak mau datang juga menghadiri Silakwil.
Sandiaga S Uno langsung memberikan pencerahan di depan peserta Silakwil. Meski tidak sampai habis namun kehadirannya telah membuat suasana Silakwil yang sudah hidup menjadi lebih hidup lagi. Muncul keinginan dari setiap peserta terutama generasi muda buat mengikuti jejaknya menjadi pengusaha dan jiwa-jiwa entrepreneurship.
SANDIAGA S Uno lahir di Rumbai, Pakanbaru, 28 Juni 1969. Lahir sebagaimana manusia biasa lainnya. Kebangkitan jiwa entrepreneurship baru muncul setelah sempat menjadi seorang pengangguran ketika perusahaan yang mempekerjakannya bangkrut. Bersama rekannya, Sandi Uno mendirikan sebuah perusahaan di bidang keuangan, PT Saratoga Advisor. Usaha tersebut terbukti sukses dan telah mengambil alih beberapa perusahaan lain.
Sekretaris Silakwil, Fauzi Umroh yakin. Dia bisa mendatangkannya. Sebab Sandiaga S Uno adalah juga bendahara ICMI Pusat. Begitu ucapan Fauzi dalam rapat-rapat persiapan Silakwil.
Entah bagaimana caranya dan kiatnya, apa yang dikatakannya itu dalam kenyataan benar-benar terjadi. Tampaknya ada sedikit tipuan dan tipuan yang tepat sasaran sehingga peringkat ke-37 orang terkaya di Indonesia menurut majalah Forbes itu mau tidak mau datang juga menghadiri Silakwil.
Sandiaga S Uno langsung memberikan pencerahan di depan peserta Silakwil. Meski tidak sampai habis namun kehadirannya telah membuat suasana Silakwil yang sudah hidup menjadi lebih hidup lagi. Muncul keinginan dari setiap peserta terutama generasi muda buat mengikuti jejaknya menjadi pengusaha dan jiwa-jiwa entrepreneurship.
SANDIAGA S Uno lahir di Rumbai, Pakanbaru, 28 Juni 1969. Lahir sebagaimana manusia biasa lainnya. Kebangkitan jiwa entrepreneurship baru muncul setelah sempat menjadi seorang pengangguran ketika perusahaan yang mempekerjakannya bangkrut. Bersama rekannya, Sandi Uno mendirikan sebuah perusahaan di bidang keuangan, PT Saratoga Advisor. Usaha tersebut terbukti sukses dan telah mengambil alih beberapa perusahaan lain.
Pada tahun 2009, Sandi Uno tercatat sebagai orang terkaya urutan ke-29 di Indonesia menurut majalah Forbes.DiIndonesia, relatif amat susah mencari orang sukses dalam usia yang relatif muda, setidaknya dalam usia di bawah 40 tahun. Namun demikian, di antara susahnya menemukan orang sukses tersebut, muncul milyarder muda, Sandiaga Salahuddin Uno.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) pasti kenal dengan sosok Sandiaga S. Uno. Dia telah lengser dari jabatan ketua umum pusat organisasi yang beranggota lebih dari 30 ribu pengusaha itu.
Sandi -demikian penyandang gelar MBA dari The George Washington University itu biasa disapa- tercatat sebagai orang terkaya ke-63 di Indonesia versi Globe Asia. Kekayaannya USD 245 juta.Sandi menyatakan tak disiapkan untuk menjadi pebisnis oleh orang tuanya. ”Orang tua lebih suka saya bekerja di perusahaan, tidak terjun langsung menjadi wirausaha,” ujar pria penggemar basket itu.”Menjadi pengusaha itu pilihan terakhir,” akunya. Karena itulah, dia tak berpikir menjadi pengusaha seperti yang telah dilakoni selama satu dekade ini. ”Saya ini pengusaha kecelakaan,” katanya, lantas tertawa.Kiprah bisnis Sandi kini dibentangkan lewat Grup Saratoga dan Recapital. Bisnisnya menggurita, mulai pertambangan, infrastruktur, perkebunan, hingga asuransi. Namun, dia masih punya cita-cita soal pengembangan bisnisnya. “Saya ingin masuk ke sektor consumer goods. Dalam 5-10 tahun mendatang, bisnis di sektor tersebut sangat prospektif,” katanya, optimistis.
Seorang pebisnis, kata dia, memang harus selalu berpikir jangka panjang. Bahkan, berpikir di luar koridor, berpikir apa yang tidak pernah terlintas di benak orang. “Mikir-nya memang harus jangka panjang.”
Dia mencontohkan, dirinya masuk ke sektor pertambangan awal 2000. Saat itu, sektor tersebut belum se-booming sekarang. ”Jadi, ketika sektor itu sekarang naik, kami sudah punya duluan,” ujarnya.
Sandi semula adalah pekerja kantoran. Pascalulus kuliah di The Wichita State University, Kansas, Amerika Serikat, pada 1990, Sandi mendapat kepercayaan dari perintis Grup Astra William Soeryadjaja untuk bergabung ke Bank Summa. Itulah awal Sandi terus bekerja sama dengan keluarga taipan tersebut. ”Guru saya adalah Om William (William Soeryadjaja, Red),” tuturnya.
Bapak dua anak itu kemudian sedikit terdiam. Pandangannya dilayangkan ke luar ruang, memandangi gedung-gedung menjulang di kawasan Mega Kuningan. ”Saya masih ingat, sering didudukkan sama beliau (William Soeryadjaja, Red). Kami berdiskusi lama, bisa berjam-jam. Jiwa wirausahanya sangat tangguh,” kenangnya. William tanpa pelit membagikan ilmu bisnisnya kepada Sandi. Dia benar-benar mengingatnya karena itulah titik awal dia mengetahui kerasnya dunia bisnis.
Di tanah air, Sandi hanya bertahan satu setengah warsa. Dia harus kembali ke AS karena mendapat beasiswa dari bank tempatnya bekerja. Dia pun kembali duduk di bangku kuliah The George Washington University, Washington. Saat itulah, fase-fase sulit harus dia hadapi. Bank Summa ditutup. Sandi yang merasa berutang budi ikut membantu penyelesaian masalah di Bank Summa.
Sandi kemudian sempat bekerja di sebuah perusahaan migas di Kanada. Dia juga bekerja di perusahaan investasi di Singapura. ”Saya memang ingin fokus di bidang yang saya tekuni semasa kuliah, yaitu pengelolaan investasi,” tutur ayah dari Anneesha Atheera dan Amyra Atheefa itu.
Mapan sejenak, Sandi kembali terempas. Perusahaan tempat dia bekerja tutup. Mau tidak mau, dia kembali ke tanah air. ”Saya berangkat dari nol. Bahkan, kembali dari luar negeri, saya masih numpang orang tua,” katanya.
Sandi mengakui, dirinya semula kaget dengan perubahan kehidupannya. ”Biasanya saya dapat gaji setiap bulan, tapi sekarang berpikir bagaimana bisa survive,” tutur pria kelahiran Rumbai itu. Apalagi, ketika itu krisis.
Dia kemudian menggandeng rekan sekolah semasa SMA, Rosan Roeslani, mendirikan PT Recapital Advisors. Pertautan akrabnya dengan keluarga Soeryadjaja membawa Sandi mendirikan perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya bersama anak William, Edwin Soeryadjaja. Saratoga punya saham besar di PT Adaro Energy Tbk, perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia yang punya cadangan 928 juta ton batu bara.
Bisa dibilang, krisis membawa berkah bagi Sandi. ”Saya selalu yakin, setiap masalah pasti ada solusinya,” katanya. Sandi mampu ”memanfaatkan” momentum krisis untuk mengepakkan sayap bisnis. Saat itu banyak perusahaan papan atas yang tersuruk tak berdaya. Nilai aset-aset mereka pun runtuh. Perusahaan investasi yang didirikan Sandi dan kolega-koleganya segera menyusun rencana. Mereka meyakinkan investor-investor mancanegara agar mau menyuntikkan dana ke tanah air. ”Itu yang paling sulit, bagaimana meyakinkan bahwa Indonesia masih punya prospek.”
Mereka membeli perusahaan-perusahaan yang sudah di ujung tanduk itu dan berada dalam perawatan BPPN -lantas berganti PPA-. Kemudian, mereka menjual perusahaan itu kembali ketika sudah stabil dan menghasilkan keuntungan. Dari bisnis itulah, nama Sandi mencuat dan pundi-pundi rupiah dikantonginya.
Sandi terlibat dalam banyak pembelian maupun refinancing perusahaan-perusahaan. Misalnya, mengakuisisi Adaro, BTPN, hingga Hotel Grand Kemang. Dari situlah, kepakan sayap bisnis Sandi melebar hingga kini.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) pasti kenal dengan sosok Sandiaga S. Uno. Dia telah lengser dari jabatan ketua umum pusat organisasi yang beranggota lebih dari 30 ribu pengusaha itu.
Sandi -demikian penyandang gelar MBA dari The George Washington University itu biasa disapa- tercatat sebagai orang terkaya ke-63 di Indonesia versi Globe Asia. Kekayaannya USD 245 juta.Sandi menyatakan tak disiapkan untuk menjadi pebisnis oleh orang tuanya. ”Orang tua lebih suka saya bekerja di perusahaan, tidak terjun langsung menjadi wirausaha,” ujar pria penggemar basket itu.”Menjadi pengusaha itu pilihan terakhir,” akunya. Karena itulah, dia tak berpikir menjadi pengusaha seperti yang telah dilakoni selama satu dekade ini. ”Saya ini pengusaha kecelakaan,” katanya, lantas tertawa.Kiprah bisnis Sandi kini dibentangkan lewat Grup Saratoga dan Recapital. Bisnisnya menggurita, mulai pertambangan, infrastruktur, perkebunan, hingga asuransi. Namun, dia masih punya cita-cita soal pengembangan bisnisnya. “Saya ingin masuk ke sektor consumer goods. Dalam 5-10 tahun mendatang, bisnis di sektor tersebut sangat prospektif,” katanya, optimistis.
Seorang pebisnis, kata dia, memang harus selalu berpikir jangka panjang. Bahkan, berpikir di luar koridor, berpikir apa yang tidak pernah terlintas di benak orang. “Mikir-nya memang harus jangka panjang.”
Dia mencontohkan, dirinya masuk ke sektor pertambangan awal 2000. Saat itu, sektor tersebut belum se-booming sekarang. ”Jadi, ketika sektor itu sekarang naik, kami sudah punya duluan,” ujarnya.
Sandi semula adalah pekerja kantoran. Pascalulus kuliah di The Wichita State University, Kansas, Amerika Serikat, pada 1990, Sandi mendapat kepercayaan dari perintis Grup Astra William Soeryadjaja untuk bergabung ke Bank Summa. Itulah awal Sandi terus bekerja sama dengan keluarga taipan tersebut. ”Guru saya adalah Om William (William Soeryadjaja, Red),” tuturnya.
Bapak dua anak itu kemudian sedikit terdiam. Pandangannya dilayangkan ke luar ruang, memandangi gedung-gedung menjulang di kawasan Mega Kuningan. ”Saya masih ingat, sering didudukkan sama beliau (William Soeryadjaja, Red). Kami berdiskusi lama, bisa berjam-jam. Jiwa wirausahanya sangat tangguh,” kenangnya. William tanpa pelit membagikan ilmu bisnisnya kepada Sandi. Dia benar-benar mengingatnya karena itulah titik awal dia mengetahui kerasnya dunia bisnis.
Di tanah air, Sandi hanya bertahan satu setengah warsa. Dia harus kembali ke AS karena mendapat beasiswa dari bank tempatnya bekerja. Dia pun kembali duduk di bangku kuliah The George Washington University, Washington. Saat itulah, fase-fase sulit harus dia hadapi. Bank Summa ditutup. Sandi yang merasa berutang budi ikut membantu penyelesaian masalah di Bank Summa.
Sandi kemudian sempat bekerja di sebuah perusahaan migas di Kanada. Dia juga bekerja di perusahaan investasi di Singapura. ”Saya memang ingin fokus di bidang yang saya tekuni semasa kuliah, yaitu pengelolaan investasi,” tutur ayah dari Anneesha Atheera dan Amyra Atheefa itu.
Mapan sejenak, Sandi kembali terempas. Perusahaan tempat dia bekerja tutup. Mau tidak mau, dia kembali ke tanah air. ”Saya berangkat dari nol. Bahkan, kembali dari luar negeri, saya masih numpang orang tua,” katanya.
Sandi mengakui, dirinya semula kaget dengan perubahan kehidupannya. ”Biasanya saya dapat gaji setiap bulan, tapi sekarang berpikir bagaimana bisa survive,” tutur pria kelahiran Rumbai itu. Apalagi, ketika itu krisis.
Dia kemudian menggandeng rekan sekolah semasa SMA, Rosan Roeslani, mendirikan PT Recapital Advisors. Pertautan akrabnya dengan keluarga Soeryadjaja membawa Sandi mendirikan perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya bersama anak William, Edwin Soeryadjaja. Saratoga punya saham besar di PT Adaro Energy Tbk, perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia yang punya cadangan 928 juta ton batu bara.
Bisa dibilang, krisis membawa berkah bagi Sandi. ”Saya selalu yakin, setiap masalah pasti ada solusinya,” katanya. Sandi mampu ”memanfaatkan” momentum krisis untuk mengepakkan sayap bisnis. Saat itu banyak perusahaan papan atas yang tersuruk tak berdaya. Nilai aset-aset mereka pun runtuh. Perusahaan investasi yang didirikan Sandi dan kolega-koleganya segera menyusun rencana. Mereka meyakinkan investor-investor mancanegara agar mau menyuntikkan dana ke tanah air. ”Itu yang paling sulit, bagaimana meyakinkan bahwa Indonesia masih punya prospek.”
Mereka membeli perusahaan-perusahaan yang sudah di ujung tanduk itu dan berada dalam perawatan BPPN -lantas berganti PPA-. Kemudian, mereka menjual perusahaan itu kembali ketika sudah stabil dan menghasilkan keuntungan. Dari bisnis itulah, nama Sandi mencuat dan pundi-pundi rupiah dikantonginya.
Sandi terlibat dalam banyak pembelian maupun refinancing perusahaan-perusahaan. Misalnya, mengakuisisi Adaro, BTPN, hingga Hotel Grand Kemang. Dari situlah, kepakan sayap bisnis Sandi melebar hingga kini.
https://cendekiasumsel.wordpress.com/2012/12/14/yang-muda-yang-lagi-bernas/
0 komentar: